Modernisasi dan adat istiadat suku Baduy Banten.




Hp gue ada pesen singkat, isinya; 

Upil, ini Doni. Kamu apa kabar? Kapan mau main ke Baduy lagi?

Sms dari Doni, yang kala itu memang gue kasih no hp gue ke doi.

Saat itu bener-bener lagi penat rasanya, pengen liburan nginep tapi yang gak jauh-jauh banget dari rumah. Googling sana sini, ketemulah foto orang berpakaian putih putih dan tanpa alas kaki. Wih ke Baduy kece nih, kata gue dalam hati.

Tangan gue pun langsung nyari barengan beberapa orang yang akan ke Baduy juga dalam waktu dekat di internet. Alhamdulillah ketemu.

Janjian ketemuan di stasiun Tanah Abang, jam 8 pagi barengan beberapa orang yang hendak ke Baduy juga bareng gue. Pagi itu, gue sumringah banget. Gimana enggak, Baduy yang nota bene katanya "serem", jauh dari peradabadan modern, primitif dan sebagainya inilah yang bikin gue deg-degan. Takut tapi penasaran pengen liat.

Oke, menempuh perjalanan 1,5 jam dari stasiun Tanah Abang ke stasiun Rangkas Bitung. Dilanjutin dengan bus kecil menuju desa di Baduy luar selama kurang lebih 3 jam dengan pemandangan perbukitan yang keren banget. Tapi naek turun banget bukitnya. Bikin yang duduk di sebelah driver bisa ngeri dan mungkin muntah. Saran gue, kalo gak cukup berani mendingan jangan duduk di sebelah driver. Mendingan dusuk di belakang aja.

Tibalah gue di desa paling luar di Baduy. Di sini aja udah banyak banget warga Baduy yang menawarkan diri menjadi porter. Wew, dari sini sudah bisa dibayangkan bahwa masyarakat Baduy sudah sangat mengenal uang. Dengan membayar 50k, tas bisa dibawain oleh warga Baduy yang menjadi porter bagi warga luar Baduy yang ingin menuju ke Baduy dalam.


Sapri dan Doni, adalah warga Baduy dalam yang menjadi porter membawakan  tas gue dan temen-temen gue. 
Jadi, ke Baduy dalam itu bisa ditempuh melewati beberapa desa. Ada yang jauh banget perjalanannya, ada juga yang singkat seperti gue hari itu. Menempuh perjalanan selama 30 menit, kurang lebih 5 km dengan berjalan kaki. Iya, berjalan kaki, karena peraturan adat Baduy, melarang kita untuk menggunakan kendaraan oleh sebab itu harus berjalan kaki. Pemandangan yang keren dengan bukit-bukit yang gokil banget, tanah merah semua tanpa aspal, di sepanjang jalan akan kita temui warga Baduy yang hilir mudik hendak ke ladang. Serta pemandangan sawah padi gogo yang menjadi komoditi utama warga Baduy. 30 menit berlalu, sampailah kami di Baduy dalam. 

Subhanallah, itulah yg gue ucapin pertama kali kala itu. Kehidupan yang tenang, suasana desa yang asri, gemiricik suara sungai yang merdu. Aahh..




Menginap di salah satu rumah warga Baduy dalam, tanpa listrik, tanpa kasur empuk, tanpa mini market, tanpa semua hal yang berbau modern. Ini gila banget. 

Rumah warga Baduy dalam sangat tertata, menyerupai komplek kecil yang rapih. Rumah merela terbuat dari bambu yang disusun menjadi balai, tapi balai itu juga sekaligus menjadi lantai dan kasur. Bentuk rumah di sini adalah rumah panggung. 

Suara adzan maghrib di salah satu ponsel temen gue menandakan malam telah tiba. Gue pun meminta izin untuk sholat maghrib kepada yang punya rumah. Dan sangat diizinkan. Gak nyangka gue, warga Baduy memiliki tenggang rasa yang sangat tinggi. Walaupun mereka bukan beragama islam. Mereka menganut atheisme. 

Lalu, sekitar jam 7an dilanjutkan dengan makan malam bersama. Dapurnya pun masih sangat menggambarkan dapur pada jaman dulu banget, gak pake kompor gas. Mereka menggunakan tungku api yang terbuat dari kayu. Oh my God, this is amazing.

Malemnya bercerita-cerita dengan kepala keluarga yg kita tumpangi untuk menginap.

Karena gue ke sana saat cuaca sedang cerah, maka malam itu menjadi sangat indah. Langit Baduy bertaburan bintang men, bintang rasanya bisa gue petik lantaran langit rasanya terlihat sangat pendek.

Hal ini terjadi karena, di sini gak ada lampu penerang, gak ada gedung-gedung bertingkat. Jadi semua masih asli, alam yang sesungguhnya.

Pagi hari jajan ke sawah, ini seru banget. Secara sawahnya aja ada di bukit jadi kita naek ke bukit dulu deh. Banyak sekali lumbung padi warga di sepanjang jalan desa. Ada sekelompok ibu-ibu dan anak perempuan yang sedang menumbuk padi. Wah sedang panen raya rupanya.

Sore hari menjelang, rasanya enggan sekali gue untuk pulang ke rumah. Di sini betah banget gue. Semua masalah di kehidupan rasanya hilang sekejap. Walaupun di sini gue gak boleh pake hp, mandi, pipis, cuci baju semua di sungai, gak boleh pake sabun, gak ada update status, gak ada internet, gak boleh motret, tapi di sini nyaman banget. Sangat memberi pelajaran hidup. Bahwa kita sebagai makhluk Tuhan harus berperilaku hidup sederhana dan selalu bersyukur..

Kapan-kapan gue balik lagi insha Allah ke sini kok Don, ucap gue kepada Doni. Warga Baduy dalam yang menjadi porter dan guide gue bersama temen-temen gue saat itu.

Ohya, kalo mau beli oleh-oleh di sini ada juga kok, kaya; madu asli dari hutan Baduy, gula merah aren, batik Baduy, k-kain tenun Baduy dan beberapa aksesoris seperti kalung dan gelang dari akar pohon yang dibuat sendiri oleh warga Baduy.

Hal yang harus dibawa adalah, selimut, karena di Baduy saat malam hari udaranya lumayan dingin, sunblock dan sepatu yang nyaman, karena kemana-mana kita berjalan kaki dan di bawah matahari langsung. Dan obat anti pegel kaya Counterpain atau minyak kayu putih. Gak usah bawa lotion anti nyamuk, karena di Baduy gak ada nyamuk :p



Share:

0 comments